26 Sept 2006 K.H. Abdullah Gymnastiar
DALAM suatu riwayat, Rasulullah saw. pernah bertanya kepada para sahabatnya, "Maukah kalian aku tunjukkan amal yang lebih besar pahalanya daripada salat dan saum?" Sahabat menjawab, "Tentu saja!" Rasulullah pun kemudian menjelaskan, "Engkau damaikan yang bertengkar, menyambungkan persaudaraan yang terputus, mempertemukan kembali saudara-saudara yang terpisah, menjembatani berbagai kelompok dalam Islam, dan mengukuhkan ukhuwah di antara mereka, (semua itu) adalah amal saleh yang besar pahalanya. Barang siapa yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakkan rezekinya, hendaklah ia menyambungkan tali persaudaraan." (H.R. Bukhari-Muslim)
Saudaraku, dari hadis di atas dapat kita renungkan bahwa betapa besar nilai sebuah jalinan persaudaraan. Karenanya, memperkokoh pilar-pilar ukhuwah Islamiyah merupakan salah satu tugas penting bagi kita.
Lalu, bagaimanakah agar ruh ukhuwah tetap kokoh? Rahasianya ternyata terletak pada sejauh mana kita mampu bersungguh-sungguh menata kesadaran untuk memiliki kalbu yang bening bersih dan selamat. Karena, kalbu yang kotor dipenuhi sifat iri, dengki, hasud, dan buruk sangka, hampir dapat dipastikan akan membuat pemiliknya melakukan perbuatan-perbuatan tercela yang justru dapat merusak ukhuwah. Mengapa? Sebab bila di antara sesama Muslim saja sudah saling berburuk sangka, saling iri, dan saling mendengki, maka bagaimana mungkin akan tumbuh nilai-nilai persaudaraan yang indah?
Sekali lagi saudaraku, adakah rasa persaudaraan dapat kita rasakan dari orang yang tidak memiliki kemuliaan akhlak? Tentu saja tidak! Kemuliaan akhlak tidak akan pernah berpadu dengan hati yang penuh iri, dengki, ujub, riya, dan takabur. Di dalam kalbu yang kusam dan busuk inilah justru tersimpan benih-benih tafarruq (perpecahan) yang mengejawantah dalam aneka bentuk permusuhan dan kebencian terhadap sesama Muslim.
Dengan demikian, bila ada dua bangsa yang berperang, maka sekurang-kurangnya salah satu di antara mereka adalah sekumpulan manusia bejat akhlak, tamak, dan terbius oleh gejolak nafsu untuk melemahkan pihak yang lain. Bila dua suku berseteru, setidaknya satu di antara mereka adalah manusia bermental rendah dan hina, karena (mungkin) merasa sukunya lebih tinggi derajat kemuliaannya. Bila dua keluarga tak bertegur sapa, sekurang-kurangnya salah satunya telah terselimuti hawa nafsu, sehingga menganggap permusuhan adalah satu-satunya langkah yang bisa menyelesaikan masalah.
Selanjutnya, tanyakanlah kepada diri masing-masing. Adakah kita saat ini tengah merasa tidak enak hati terhadap adik, kakak, atau bahkan ayah dan ibu sendiri? Adakah kita saat ini masih menyimpan kesal kepada teman sekantor karena ia lebih diperhatikan oleh atasan?
Bila demikian halnya, bagaimana bisa terketuk hati ini ketika mendengar ada seorang Muslim yang teraniaya, ada sekelompok masyarakat Muslim yang diperangi? Bagaimana mungkin kita mampu bangkit serentak manakala hak-hak Muslim dirampas oleh kaum yang zalim? Bagaimana mungkin kita akan mampu menata kembali kejayaan umat Islam?
Nah, dari sinilah seyogianya memulai langkah untuk merenungkan dan mengkaji ulang sejauh mana kita telah memahami makna ukhuwah Islamiyah. Karena, justru dari sini pula Rasulullah saw. mengawali amanah kerasulannya. Betapa Rasul menyadari bahwa menyempurnakan akhlak pada hakikatnya adalah mengubah karakter dasar manusia. Karakter akan berubah seiring munculnya kesadaran setiap orang akan jati dirinya. Maka, menumbuhkan kesadaran adalah jihad karena kesadaran merupakan sebutir mutiara yang hilang tersapu berlapis-lapis hawa nafsu.
Manakala kesadaran telah tersemai, maka jangan heran kalau Umar bin Khathab yang pemberang adalah manusia paling pemaaf kepada musuhnya yang telah menyerah di medan perang. Seorang sahabat menempelkan pipinya di tanah dan minta diinjak kepalanya oleh sahabat bekas budak hitam yang telah dihinanya. Para sahabat yang berhijrah bersama Rasul ke Madinah, dipertautkan dalam tali persaudaraan yang indah dengan kaum Anshar, sementara kaum Muslimin Madinah ini rela berbagi tanah dan tempat tinggal dengan saudara-saudaranya seiman seakidah tersebut.
Saudaraku, kekuatan ukhuwah memang hanya dapat dibangkitkan dengan kemuliaan akhlak. Oleh karena itu, nampaknya kita amat merindukan pribadi-pribadi yang menorehkan keluhuran akhlak. Pribadi-pribadi yang aneka buah pikirannya, sesederhana apapun, adalah buah pikiran yang sekuat-kuatnya dicurahkan untuk meringankan atau bahkan memecahkan masalah-masalah yang menggelayut pada dirinya sendiri maupun orang-orang di sekelilingnya. Sehingga berdialog dengannya selalu membuahkan kelapangan.
Tatapan matanya adalah tatapan bijak bestari, sehingga siapa pun niscaya akan merasakan kesejukan dan ketenteraman. Wajahnya adalah cahaya cemerlang yang sedap dipandang lagi mengesankan, karena menyemburatkan kejujuran itikad. Sementara senyum yang tak pernah lekang menghias bibirnya adalah sedekah yang jauh lebih mahal nilainya daripada intan mutiara. Tak akan pernah terucap dari lisannya, kecuali untaian kata-kata yang penuh hikmah, menyejukkan, membangkitkan keinsyafan, dan meringankan beban derita siapapun yang mendengarkannya.
Jabat tangannya yang hangat adalah jabat tangan yang mempertautkan seerat-eratnya dua hati dan dua jiwa yang tiada terlepas, kecuali diawali dan diakhiri dengan ucapan salam. Kedua tangannya teramat mudah terulur bagi siapa pun yang membutuhkannya. Sementara bimbingan kedua tangannya, tidak bisa tidak, selalu akan bermuara di majelis-majelis yang diberkahi Allah Azza wa Jalla.
Dengan demikian umat Islam harus menghindarkan keperpecahbelahan menuju ukhuwah Islamiyyah, seraya menepis remah-remah jahiliyiah dari hati ini. Memiliki kalbu yang bersih dan selamat harus di atas segala-galanya agar kita mampu mengevaluasi diri dengan sebaik-baiknya dan menatap jauh ke depan agar Islam benar-benar dapat termanifestasikan menjadi rahmatan lil 'alamin dan umat pemeluknya benar-benar menjadi "sebaik-baik umat" yang diturunkan di tengah-tengah manusia. Wallahu a'lam.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan
'SUDAHKAH ANDA SOLAT '
Kepentingan Menjaga Solat Hadith :
Rasulullah s.a.w bersabda yang maksudnya: “Sesungguhnya amal yang mula-mula sekali dihisab pada hari kiamat ialah sembahyang (solat) seseorang, jika sembahyangnya diterima maka sesungguhnya beruntunglah dan berjayalah ia, dan jika sembahyangnya tidak diterima maka kecewa dan rugilah ia. Sekiranya terkurang dari sembahyang fardhunya sesuatu, Allah berfirman:” Periksalah, adakah hamba-Ku itu mempunyai sembahyang-sembahyang sunat untuk dicukupkan dengannya apa yang terkurang dari sembahyang fardunya?” Demikianlah keadaan amal-amalnya yang lain. ”
Riwayat at-Tirmidzi